Aku Ini

BABAT ALAS AMBARAWA

Selamat datang di Komunitas Babat ALas.Joint grup FB: Komunitas Babat Alas

Sekilas Tentang Babat ALas

Komunitas Sastra Babat Alas Ambarawa merupakan organisasi pemberdayaan anak-anak muda Ambarawa pada khususnya, yang bergerak di bidang sastra dan penulisan kreatif

Bass: Perum Serasi no. 155, RT/RW: 06/XII, Ambarawa, 50612 Contact Person: M. Rifan Fajrin 085640723095 Bulletin Babat Alas menerima tulisan berupa artikel sastra dan budaya, cerpen, dan puisi. Kirim tulisan Anda ke: komunitasbabatalas@ymail.com

Friday, March 2, 2012

Sudip

Sudip
Oleh Janoary M Wibowo


     Gunting bukanlah alat masak. Barangkali akan terkesan janggal jika kita membuat nasi goreng dengan gunting. Lazimnya, alat masak yang digunakan adalah sudip. Ya, barangkali kelaziman itulah yang terkadang menjadi konvensi, aturan-aturan tak tertulis yang disepakati. Bahkan, membuat nasi goreng pun ada aturan-aturan dasar. Bahan dasarnya nasi, biasanya dimasak di wajan, nasinya dicampur dengan bumbu menggunakan sudip. Jadi, apabila kita berniat membuat nasi goreng, kita paling tidak harus tahu bagaimana dasar-dasar membuat nasi goreng—termasuk peralatan apa saja yang lazim digunakan.


     Pun, sastra berkaitan dengan konvensi semacam itu. Apabila kita ingin menulis puisi, barangkali akan lebih baik jika kita mengetahui dasar-dasar menuliskannya. Namun, konvensi itu bukan rantai. Konvensi tidak begitu mengikat. Konvensi bersifat longgar—bukan berarti harus dilanggar—dan penuh ruang improvisasi. Semisal Farah Quinn, dia koki berpengalaman. Barangkali caranya membuat nasi goreng jauh lebih lihai dan enak daripada orang-orang kebanyakan. Barangkali Farah Quinn sudah mampu melakukan improvisasi. Lahir dari pengalaman. Tercipta oleh kebiasaan-kebiasaan terus melakukan.


     Lalu, apa itu puisi? Ada judul. Ada baris-baris. Ada bait-bait. Tentu ada kata yang dituliskan. Sesekali—tidak melulu harus—ada rima yang dimainkan. Boleh kita mengatakan begitulah puisi, tanpa menafikan segala kemungkinan definisi puisi dari sumber lain. Bagaimana sifat puisi? Menyitir pernyataan filsuf Yunani Horatius dalam tulisannya Ars Poetica, puisi itu bersifat dulce et utile. Menghibur dan bermanfaat. Tak apa menulis puisi yang—hanya—menghibur diri sendiri. Namun, alangkah indah jika orang lain yang membaca ikut terhibur juga. Menghibur itu pun sudah menjadi manfaat puisi. Namun, alangkah baik jika ada manfaat lain yang timbul selain sekadar menghibur. Membuat ‘melayang dan terhenyak’, seperti itulah kata Chairil Anwar tentang puisi yang baik.


     Dan untuk mencapai kondisi membuat ‘melayang dan terhenyak’, seorang yang menulis puisi butuh kreativitas—selain pengalaman berimprovisasi dari keseringan dia menulis. Sudah barang tentu, kita harus sudah pernah membuat nasi goreng biasa jika menginginkan membuat nasi goreng spesial. Barangkali dengan tambahan irisan sosis dan telur ceplok. Kemampuan mengembangkan itu barangkali menjadi penting juga guna menunjukkan ciri khas. Karakter penulis dalam karyanya. Karakter yang baik bisa jadi adalah yang tak menabrak semua aturan. Bolehlah sesekali menabrak, asal ada manfaatnya. Seperti kata Bang Rhoma, jangan sering begadang, tapi bolehlah begadang asal ada perlunya.


     Karakter adalah ciri-ciri khusus. A la jika menggunakan istilah kuliner. “This is it! Nasi Goreng Special a la chef Farah Quinn.” kata Farah. Lalu bagaimana puisi a la kita? Ah, kita butuh mengetahui puisi-puisi A la orang lain. A la Soetardji barangkali, a la Rimbaud bisa jadi, atau a la yang lain lagi. Untuk mengetahui semua itu, kita perlu membaca. Sederhananya, untuk bisa menulis dengan baik, kita perlu membaca. Bayangkan sebuah kendi, sebelum bisa menuangkan isinya ke dalam gelas, kendi butuh diisi. Kepala sebelum menuangkan gagasannya ke dalam karya, dia butuh diisi. Dengan apa? Tentu dengan membaca. Barangkali begitulah. Pertama kali kita perlu mengetahui apa itu puisi dan bagaimana menuliskannya. Anggaplah hal tersebut sebagai alat utama, sudip kita. Lalu kita terus menulis. Sambil terus membaca. Ya, selamat menemukan a la kita. Mari saling menulis saling membaca.Salam Sastra! []


Penulis

*Muhammad Rifai Fajrin, S.Pd, pendidik pada bidang Ilmu Sejarah dan IPS, mengajar di SMA Pondok Modern Selamat (PMS) Kendal. Menaruh minat dan suka bertukar pikiran tentang segala hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya. Dan, sesekali bolehlah mengobrol tentang sepakbola, khususnya Liverpool F.C. []
Keterangan Gambar: dr. Sutomo
Penulis
*) Janoary M Wibowo, lahir di Grobogan dan sekarang berdomisili di Semarang. Menulis puisi dan cerpen. Beberapa karyanya masuk dalam antologi bersama seperti Beranda Rumah Cinta dan Senja di Batas Kota. Sekarang bergiat di Open Mind Community Semarang.

Cara Berpakaian: Alat Kebangkitan Nasional

Cara Berpakaian: Alat Kebangkitan Nasional

Oleh Muhammad Rifai Fajrin*

     Sebuah artikel pada Koran Kompas yang pernah saya baca mengupas bagaimana pakaian menjadi kode untuk melihat sikap politik seseorang. Pa-kaian mengiringi perubahan sosial politik sekaligus sebagai simbol perlawanan bagi pemerintah Hindia Belanda pada masa kebangkitan nasional seratus tahun lalu. Aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda saat itu, dengan menciptakan pembagian kelas sosial dan politik melalui cara berpakaian justru melahirkan perlawanan pejuang pergerakan nasional.
Pengurus Budi Utomo—Organisasi yang kelahirannya diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei—memadukan pakaian tradisional dengan pakaian modern ala barat. Mereka memadukan kain panjang dan destar batik dengan jas dan dasi. Cara berpakaian tersebut merupakan perlawanan secara diam-diam terhadap penguasa Hindia Belanda tahun 1910 sampai menjelang 1920-an. SeOleh Muhammad Rifai Fajrin*
Sebuah artikel pada Koran Kompas yang pernah saya baca mengupas bagaimana pakaian menjadi kode untuk melihat sikap politik seseorang. Pa-kaian mengiringi perubahan sosial politik sekaligus sebagai simbol perlawanan bagi pemerintah Hindia Belanda pada masa kebangkitan nasional seratus tahun lalu. Aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda saat itu, dengan menciptakan pembagian kelas sosial dan politik melalui cara berpakaian justru melahirkan perlawanan pejuang pergerakan nasional.


     Pengurus Budi Utomo—Organisasi yang kelahirannya diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei—memadukan pakaian tradisional dengan pakaian modern ala barat. Mereka memadukan kain panjang dan destar batik dengan jas dan dasi. Cara berpakaian tersebut merupakan perlawanan secara diam-diam terhadap penguasa Hindia Belanda tahun 1910 sampai menjelang 1920-an. Sebab, sebetulnya Belanda hendak menciptakan perbedaan cara berpakaian dengan penduduk pribumi dengan memperkenalkan Jas, kain panjang dan Dasi yang dianggap sebagai pakaian modern sebagai atribut mereka. Ironisnya, pakaian itu justru digunakan pengurus organisasi pribumi. 


     Perlawanan Budi Utomo berlanjut. Seiring ditegaskannya pergerakan mengusir penjajah menjadi perjuangan kemerdekaan, “Generasi 1928” Sukarno dkk adalah politisi yang gemar memakai pakaian barat tetapi menjadikan peci sebagai ciri khas dan kebanggaannya, simbol nasionalisme sekaligus simbol perlawanan. Mereka mengenakan pakaian ala barat sebagai sindiran kepada pemerintah Belanda dengan tetap menegaskan identitas keindonesiaannya. 


     Sayangnya setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional, pakaian nasional yang menjadi ciri identitas bangsa malah mulai ditinggalkan. Pakaian ala barat marak digunakan, tetapi dengan meninggalkan kebanggaan memakai pakaian nasional seperti kebaya, batik maupun peci. Masyarakat justru bangga mengenakan pakaian ala barat dalam sebagai pengiring aktivitasnya, contohnya dalam melangsungkan pernikahan. Tentu hal ini menimbulkan tanda tanya. Apakah masyarakat Indonesia telah kehilangan kebanggaannya untuk mengenakan pakaian-pakaian nasional? Ataukah disebabkan harga pakaian tradisional yang cenderung mahal dibanding pakaian barat?


     Jika masyarakat mengenakan pakaian barat disebabkan faktor ekonomis, maka benarlah yang disampaikan Denys Lombard. Hasil angketnya pada majalah Djawa tahun 1924 menyebutkan, harga satu celana dan satu kemeja yang merupakan pakaian barat hanya 11,8 gulden, sementara satu surjan, satu kain dan satu Blangkon yang merupakan pakaian nasional mencapai 17 gulden. Hal ini menjadi alasan masyarakat lebih memilih memakai pakaian-pakaian barat karena lebih ekonomis. Namun demikian, jika kini masyarakat benar-benar telah kehilangan kebanggaan memakai pakaian nasional, bukankah kita patut untuk mengkhawatirkannya?[]


Rifai Fajrin*















Hujan Turun Lagi

Sekejap Pandang—Puisi
Hujan Turun Lagi
A.S El-Syekripsi *)

Hujan turun lagi sayang. Rintiknya harapan. Basahnya kenikmatan. di ladang, di sawah, juga genting sekolah
Mereka menyapa, Bercengkrama . Lewat dahan, udara, dan jendela.
Lihatlah, lantainya, sayang. Tak mau kalah Mereka rekah indah di antara kaki para siswa
Andai saja kau di sini, tentu kuajak kau diskusi. Tentang anak kita, yang tak ku ijinkan sekolah. Apalagi kuliah.
Lebih baik di rumah, tentu lebih terarah
Yang terpenting sayang, anak kita bebas dari korupsi. Sebab, mereka tak merebutkan kursi. Apalagi biaya tinggi
Percayalah!
Anak kita lebih mengerti, dan pasti lulus uji. Sebab, ukuran prestasi dari kita sendiri.
Sayang, marilah kita uji diri dan senantiasa mawasdiri. Agar kelak tidak mempermalukan ibu pertiwi dengan gantung diri. Apalagi anarki!
Andai kau di sini sayang, ketika hujan turun. Tentu kuajak kau bercinta dengan semua pesona negeri ini yang kian ngeri.
Mulai kasus korupsi, hingga perlawanan mesuji. Dan masih banyak lagi
Percintaan kita akan semakin panas! Kita pompa gairah kita! Untuk tetap berdiri. Karena kasusnya hanya dikaji. Belum ada bukti.
Lihatlah sayang, Hujan turun lagi. Rintiknya harapan, basahnya kenikmatan. Seperti bangsa ini, yang terbuai oleh nikmatnya harapan, yang tak kunjung terpenuhi.
Semarang 22 Januari 2012



A.S El-Syekripsy, pria macho kelahiran Demak Jawa Tengah 20 April 1986 ini adalah mantan pegiat Teater Sangkur Timur Semarang. Selain berteater dan menulis puisi, ia juga menulis cerpen.
Pada bulan Oktober 2011 resmi dinyatakan lulus dari Universitas Negeri Semarang, setelah bertahun-tahun menulis SKRIPSI.
Saat ini sedang berkhidmat di Yayasan Sahabat Mata Semarang.

Boneka Itu Telah Mati

Cerpen
Boneka Itu Telah Mati
Oleh :@ry@ Sutha

   Listrik padam lagi. Anakku menangis; takut gelap. Aku mencari lilin dan menyalakannya. Dan mulai bercerita pada anakku tentang beruang berwarna kuning dengan rumah pohonnya, dia tinggal sendiri. Hanya ada satu teman yang selalu menemaninya. Sebuah syal berwarna ungu.
“Bu, warnanya kok ungu?”“Iya, beruang itu suka sekali dengan warna ungu”“Kan…kan ada yang lain Bu”“Beruangnya suka ungu, karena dia suka”“Sukanya kenapa?”“Karena ungu itu lambang…”
     Belum selesai aku meneruskannya aku tak melihat tangannya yang usil bergerak-gerak lagi. Anakku tertidur dalam pelukanku. Ku belai rambutnya yang ikal. Persis seperti ayahnya. Tapi sayang dia tak bisa bertemu dengan ayahnya lagi. “Sabar ya nak, hidup yang hanya sekali ini akan menempa dan membuatmu belajar tentang hidup itu sendiri, tentang keyakinan dan apa yang akan engkau lakukan kelak. Semoga dalam mimpimu malam ini engkau tak membayangkan peperangan”, bisikku pelan di telinganya. Dia tertidur dengan memelukku erat sekali. Aku berkaca-kaca melihatnya.
“Andai engkau tahu nak, kalau syal ungu itu adalah syal yang kurajut untuk ayahmu dan sekarang masih tersimpan di lemari. Suatu saat engkau akan tahu, apa yang terjadi dengan ayahmu dan arti warna ungu itu”
     Malam semakin gelap. Kulihat rumah-rumah di sekitarku seperti sampan di lautan luas. Nyala redup dari rumah itu seperti perasaanku malam ini. Remang-remang, begitu juga dengan rumahku. Tak ada suara. Sunyi sekali. Jam sepertinya tak lelah berputar tiap hari, menunjukan waktu, mengarah pada angka-angka dan diam begitu saja di paku yang menggantungnya di dinding.


     Lelah sekali hari ini. Menjadi seorang pengajar taman kanak-kanak di sebuah desa perbatasan membuat aku harus belajar. Aku harus tetap berada dalam alam pikirku sendiri. Aku melihat anakku yang tertidur memeluk bantal gulingnya, manis sekali. Aku menyayangimu. Aku tahu untuk mendapatkan ayahmu aku juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulutnya, sama seperti sekarang, tiap hari aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang meluncur bagai peluru.


     Aku masih ingat pertanyaan hari Minggu kemarin, “Bu, tadi yang di tipi siapa?”. ” pak Presiden jawabku”. “Presiden itu siapa Bu?”. “Orang yang memimpin negara ini”. “Berarti ibu juga di pimpinnya?”. “Iya”. “Presiden kenal Ibu? tahu rumah kita?”. “Tidak. Negara ini punya banyak penduduknya, dari Aceh sampai Papua” . Aku mulai bercerita sedikit tentang yang ku tahu. “Aceh itu di Pulau Sumatera, sedangkan kita sekarang berada di pulau Jawa. Selain itu ada pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua dan masih banyak sekali”. Anakku melihatku, sesekali matanya berkedip. Tapi masih tajam melihat kearahku.


     Dalam hatiku semoga dia tak bertanya pulau-pulau yang lainnya karena aku tahu negara ini punya banyak pulau. Kemudian aku melanjutkan, “Anakku, sebagai manusia kita harus banyak belajar, belajar itu tidak harus ke sekolah, tapi bisa di perpustakaan, bisa dengan orang yang pintar, berguru padanya. Dengan membaca kita akan jadi mengerti sebenarnya manusia itu makhluk yang kecil. Masih ada alam semesta di luar sana.” “Berarti Presiden juga!”. tiba-tiba ia menyela. Aku hanya terdiam. Aku mendekatkan mulutku ke telinganya dan membisikkan “kita semua adalah manusia. Sama sama manusia harus saling menyayangi”. Anakku mengangguk lalu tersenyum. Matanya masih tajam. Seperti mata ayahnya. Tajam sekali kalau memandangku seolah-olah dia adalah tank yang sudah mengunci sasarannya. Sudah tengah malam dan masih gelap. Kegelapan yang tak pernah membedakan tinggi dan rendah, besar dan kecil. Dalam kegelapan tersirat sebuah kejujuran. Mata sering mendapat kebohongan-kebohongan tak terduga. Melihat televisi seperti angin, terasa menyejukan tapi cepat berlalu. Tidak ada yang berharap untuk sebuah kebohongan. Di dalam kegelapan itu semua berwarna sama. Tidak ada yang mencolok. Tidak ada warna-warna yang saling berebut siapa yang paling indah. Listrik masih saja mati, sampai aku tertidur memeluk Ami.
*
     Hari ini aku membongkar celengan semar yang bertubuh tambun. Ku ambil dari bawah meja kecilku. Ruang kecil penuh kertas. Terasa berat. Sudah lama sekali aku tak menyentuhnya. Yang aku lakukan tiap hari adalah memberi makan si Semar itu. Aku harus mengirim surat ke kantor pos, mengabarkan kalau ami sudah tumbuh menjadi gadis kecil, tank kecil yang siap menggempur medan laga.


     Aku mulai menata uang logam dari aluminium bergambar bunga melati, yang sebelumnya juga berwarna kuning. Bunga melati yang berwarna putih yang aku kenal waktu masih sekolah dasar. Aku punya satu pohon melati di depan rumah. Tempat bermainku. Tanpa teman. Aku suka sekali dengan uang logam. Mengingatkan upeti. Masyarakat Jawa mengenal ini sebagai hal yang sama-sama tahu. Apapun namanya itu adalah bentuk otoritas kekuasaan yang masih terlihat sampai sekarang. Juga di tempat suamiku bekerja.


     Aku harus membeli melati dengan melati. Perangko bergambar melati siap membawa kabarku dan Ami kepada Seta. Dari mulut kecilnya yang mungil aku tak tega melihat dia merengek minta boneka Pooh. “Suatu saat nanti, Ayahmu akan membawa boneka itu pulang” kataku.[]


*) Lahir di Cilacap, 2 Oktober. Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes. Suka membaca dan Menulis. Aktif dalam kegiatan sastra dan teater. Pernah menjadi juri membaca puisi tingkat SMA/SMK se-kota Semarang (2008, 2011) Puisi-puisinya dibacakan dalam Bahana Sastra RRI Semarang (2011). Tulisannya pernah dimuat di Harian Suara Merdeka dan Kompas. Aktivitasnya antara lain pernah mengajar teater untuk anak-anak di beberapa SD di Semarang. Selain itu, ia juga berorganisasi sebagai Koordinator Forum Teater Kampus Semarang (FOTKAS) pada 2008-2010, dan Div. Teater Lab. Teater Us¬mar Ismail Jurusan Bahasa Indonesia Unnes (2011).

Thursday, February 2, 2012

Tiada Terduga

Tiada Terduga

Seutas rajutan benang putih tersimpul malu
Menggenggam rasa tiada tara
Temani pekatnya buih raga
Tinggalkan percik yang membatu
Dalam heningnya butiran embun

Jalani coba
Oleh asa yang tertunda
Elok cerita kurasa
Kehendak Maestro Semesta

Wednesday, February 1, 2012

Kidung kecil untukmu, Maya

Kidung kecil untukmu, Maya

Inikah jalan terakhir di hidupmu.
Letih, lelah tak pernah berganti,
Alasan-demi-alasan tenggelam, terpatri tiada arti.
Inikah jalan hidupmu, Maya.

Inikah jalan akhir kesunyian,
Buta harap dan imbalan.
Kali ini kau hancurkan sendiri langkahmu,
Mengubur kebinasaan dan bangkitkan kedengkian di hatimu.

Sudah, sudahlah.
Kau harus akhiri ini sendiri, ya sendirian.
Karna yang kau torehkan adalah hitam.
Yang kau berikan adalah bayang.
Biar, biar tak ada lagi yang menuntunmu pulang.

:: Lean Syam Prayogo ::
Si pemula sastra, “Ajari Aku bagaimana itu hidup!!!”

Fb @Hyugayoga
Dari Mahasiswa jurusan Farmasi Fakultas Kesehatan UMMagelang
Semester V.

Cinta yang Misteri, Lalu Siapa Tahu?

Oleh: M. Rifan Fajrin


Pada awalnya saya mencibir puisi, tidak begitu tertarik pada puisi. Saya lebih menyukai membaca cerita pendek daripada membaca puisi. Saat pelajaran membaca puisi (apalagi ketika harus membacakannya di depan kelas) adalah pelajaran yang paling membuat saya malas. Sebab, saya harus membacakannya dengan vokal yang bagus, penuh ekspresi, mimik wajah yang oke, dan sebagainya.



Kemudian pada waktu itu pelajaran puisi yang saya terima tidak banyak memberikan contoh-contoh karya puisi. Begitu pula tidak banyak mengenalkan pada para penulis puisi yang hebat. Keadaan itu membuat saya dan satu teman saya kemudian iseng-iseng berjalan-jalan ke perpustakaan sekolah untuk mencari beberapa puisi. Benarlah, kami menemukan puisi di Majalah remaja MOP dan Majalah Horison, Kakilangit.


Namun, ternyata sesuatu yang saling bertolak belakang kami alami setelah kami menemukan puisi. Mulai saat itu teman saya menyukai puisi sedangkan saya menjadi tidak tertarik. Teman saya menyukainya karena saat itu ternyata ia sedang Jatuh Cinta, sehingga alangkah gembiranya dia menemukan puisi cinta yang bagus itu. Padahal menurut saya, seseorang yang jatuh cinta adalah orang yang lemah, barangkali saya sebut juga sentimentil, wagu, atau satu tuduhan kejam: pikirannya cewek melulu! Lihat saja mereka yang jatuh cinta, ia jadi seorang pemalas, apalagi kalau sampai patah hati.


Begitulah, mengapa saya mencibir puisi.
***


Menulis pun saya lebih suka menulis cerpen daripada puisi. Berbeda dengan puisi, cerpen memberikan ruang yang lebih bebas dalam menuliskannya. Sedangkan puisi, saya terlanjur percaya ketika diajari bahwa puisi itu harus: padat, singkat tapi bermakna dalam, bagusnya puisi itu ketika multiinterpretasi, menyampaikan sesuatu tidak secara langsung atau tersirat, dsb, dst. Terus terang hal itu terasa begitu mengekang, membuat saya malas menulis puisi. Puisi yang merupakan karya sastra paling pendek daripada cerpen dan novel, menjadi susah dibuat.


Namun, untunglah keadaan memaksa kita untuk senantiasa belajar dan mengamati sesuatu, menemukan dan belajar memaknai pengalaman-pengalaman yang baru. Ya, kadang-kadang dalam keadaan tertentu mau tidak mau kita tetap harus mau “menyentuh” sesuatu yang bahkan kita tidak berminat padanya. Lagi-lagi, kali ini tugas kuliah memaksa saya mencari puisi dan membacakannya di depan kelas, dan akan dinilai! Pada saat itu saya mendapat mata kuliah “Membaca Indah” (kalau tidak salah sekarang bernama Ekspresi Lisan Sastra). Saya menemukan satu puisi karya Ismet Natsir yang kemudian saya pilih untuk dibacakan saat ujian. Judulnya “Aku Hanya Minta Sedikit”.


Aku tak minta dibikinkan jembatan cahaya
Atau sesuatu yang sulit direka
Aku hanya minta sedikit
Kau mengantarku sampai ke seberang
Tungkaiku lemah
Lagi pula kau tahu, aku penggamang


Aku pun tak minta dibikinkan selimut cahaya
Atau sesuatu yang mampu menghalau embun
Aku hanya minta sedikit
Kau menemaniku malam ini
Kau tahu,
aku tak tahan dingin [1]


Dari puisi itu saya bergumam, sepertinya begitu gampang Ismet Natsir membuat sebuah puisi. Saya merasa agak bisa memahami puisi itu. Saya sedikit berani berkata, “Puisi itu maksudnya begini dan begitu. Lagipula puisi itu terasa kocak, menghibur.”


Dari situ pula mulai kendur pemahaman saya bahwa puisi harus begini dan begitu seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Meski demikian saya belum juga berani mencoba menulis puisi.
***


Lalu mengapa saya sekarang menulis puisi? Bukankah jika kita memaksakan sesuatu yang tidak suka, hasilnya pun buruk?


Atas pertanyaan yang sebenarnya bukan dari siapa-siapa, berasal dari diri saya sendiri itu, saya menjawabnya, “Apa susahnya untuk mencoba menemukan potensi, yang bila itu kemudian dikembangkan siapa tahu akan berbuah manis.”
Ya, resep siapa tahu saya rasakan cukup ampuh. Hidup memang penuh dengan misteri. Ada banyak jalan mencapai satu tujuan. Begitu pula dengan potensi. Ibarat perjodohan yang juga misteri, lagi-lagi siapa tahu?


Barangkali perjodohan saya dengan puisi pun demikian. Ibarat kisah cinta yang diawali dengan pertengkaran, atau ketidakcocokan, namun siapa yang dapat menebak akhir kisahnya? Sedangkan kejadian-kejadian yang saling mengait dan membentuk alur kadang terasa begitu gampang. Jika seorang laki-laki dan perempuan dari arah yang berlawanan mereka bertabrakan, maka kemungkinan yang ada setidaknya: 1) Ya sudahlah, anggap saja tidak terjadi apa-apa, dan lupakan, 2) Bisa jadi mulai saat ini kita bermusuhan, “kau dan temanmu adalah musuhku dan juga musuh temanku”, dan 3) mereka saling menatap, dan saling jatuh cinta, dan “temanku temanku teman kita”.


Begitu banyak kemungkinan yang disebabkan dari satu kejadian/satu hal saja.
***


Kini saya baru menyadari mengapa saya menulis puisi. Dan ternyata cinta. Bukan kecintaan saya kepada puisi. Namun, kecintaan pada seseorang yang ingin saya beri dia sebuah puisi. Jika dahulu teman saya repot mencari-cari di perpustakaan untuk sebuah puisi, maka saya mencoba menulisnya sendiri, meski saya sering merasa bahwa puisi itu sungguh jelek.


Entahlah. Apakah ini yang dinamakan ego, anggapan saya mengenai seseorang yang jatuh cinta, menjadi melebar, menjadi sangat tergantung, fleksibel. Setidaknya kini saya menganggap orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang sedang disayangi oleh Tuhan. Tiba-tiba saja ia menjadi lebih sering “berdialog” dengan Tuhannya, dan memohon seabrek-abrek harapan. Teman-teman saya yang sering menulis puisi, pun dalam anggapan saya mereka memiliki kecerdasan, serta kepekaan rasa yang hebat, yang kemudian diolah dalam baris kata-kata.


Tentu saja, kemudian saya berusaha cinta tak melulu soal laki-laki dan perempuan. Sebab, jika cinta adalah soal laki-laki dan perempuan saja, maka anggapan awal akan tetap berlaku: lemah dan malas. Kecintaan pada sesama manusia akan menghasilkan puisi yang humanis. Kecintaan pada satu tatanan yang baik, akan memunculkan puisi-puisi tentang kedamaian, atau justru satu protes dan perlawanan terhadap macam-macam ketimpangan. Kecintaan pada alam akan menghasilkan puisi yang harmoni. Dan sebagainya. Begitu pun dalam hubungan manusia sebagai makhluk dengan Tuhannya.


Akan tetapi, tuduhan terhadap keinginan berkarya yang setengah hati masih saja menghantui saya. Adalah haram menulis puisi jika kau tak sungguh-sungguh menuliskannya, apalagi kau menulis puisi masih coba-coba, apa sih yang kau tulis? puisi-puisi asal tulis yang dengan  bangga diaku sebagai “inilah puisi”, juga anggapan: “kau hanya butuh sedikit membual saja untuk membikin sebuah puisi”, terkadang masih terasa. Maka jika seperti itu, lupakan hasratmu untuk menjadi sastrawan (penyair)!


Satu-satunya hiburan bagi saya adalah dengan “memaksakan diri” berada pada posisi dimana terdapat sebuah pandangan bahwa: sastra ditulis untuk sastra itu sendiri. Sastra ditulis demi nilai estetisnya, tanpa muatan dan pretensi dari luar. Gao Xingjian mengatakan:


“Apa yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa sastra itu hanya dapat menjadi suara individu dan selalu seperti itu. Tatkala sastra diusung sebagai himne suatu bangsa, bendera suatu ras, musik suatu partai politik atau suara suatu kelas atau kelompok, sastra berubah menjadi alat propaganda yang perkasa. Bagaimanapun, sastra seperti itu kehilangan jiwa sastrawinya, berhenti menjadi sastra dan menjadi pengganti kuasa dan laba.”[2]
Atau Imre Kertesz yang berkata bahwa ia menulis untuk dirinya sendiri dan tanpa pretensi apa-apa untuk dibaca atau memengaruhi orang lain. Ia beranggapan, pada akhirnya nanti, pada proses yang panjang si penulis, penulis akan melihat dirinya sendiri, dan sehingga ia nanti akan menulis untuk dirinya sendiri.


Begitulah kiranya, mengapa saya menulis puisi. Puisi-puisi yang entah dimanakah letak estetisnya, dimanakah letak “sastra untuk sastra”-nya, dan dimanakah letak jiwa sastrawinya. Namun, yang jelas saya berusaha bersungguh-sungguh menuliskannya. Jika pun saya tak kunjung bisa menulisnya secara sungguh-sungguh, setidaknya saya akan berpura-pura untuk bersungguh-sungguh menulisnya.


Seperti nasihat yang saya terima: “Saat kau tak mampu menangis saat berdoa merengek pada Tuhanmu, maka pura-puralah menangis saat berdoa menghadap pada-Nya!”
Salam. []


[1] Kira-kira bunyinya seperti itu. Saya tidak ingat persis. Judul buku antologi, penerbit, dan tahun terbit juga saya tak memperhatikannya waktu itu.

[2] (Pidato Nobel: Persoalan Bagi Sastra, Desember 2000)

Monday, January 30, 2012

Sebuah Jawab

 Sebuah Jawab

menunduk diam,
menatap krikil yang terasingkan jaman.
adakah di dalam nya terselip sedikit keadilan?

hanya tanya,,
ya,tanya.
tatap mata di sisi jalan terbalut tanya.

gelap karena tak pernah ada jawab

dan apakah sebuah tanya harus selalu terjawab?

lalu,
dari teropong fana
ada kata dari gelap,
diam bukan berarti tak menjawab.


-Pandhu Blady Idiet-

Subscribe To RSS

Sign up to receive latest news